Header Ads

ad

Tingkat Kemandirian Keluarga Fakir Miskin Penerima Bantuan Usaha Ekonomi Produktif KUBE

KUBE merupakan salah-satu program unggulan Kementerian Sosial dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Skema yang diluncurkan menekankan pada peningkatan dan pengelolaan pendapatan melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Indikator capaian keberhasilan program KUBE adalah terwujudnya kemandirian keluarga fakir miskin penerima bantuan UEP. KUBE sebagai upaya penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dengan strategi penguatan kelompok, pemberian bantuan stimulan usaha dan pendampingan yang menggunakan pendekatan pekerjaan sosial. KUBE dilaksanakan oleh Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan dan Direktorat Penanggulangan Perdesaan, serta diperuntukkan bagi pengentasan kemiskinan peserta PKH yang masih dalam masa transisi (status KSM-Keluarga Sangat Miskin). KUBE sebagai skema penanggulangan kemiskinan yang strategis mendorong perlunya telaahan yang berfokus pada indikator keberhasilan KUBE terhadap kemandirian keluarga fakir miskin penerima UEP, Aspek yang menjadi ukuran keberhasilan KUBE  dan bagaimana performa kerja pendamping.

Landasan hukum yang terkait pemberdayaan keluarga fakir miskin melalui KUBE dan pendampingan, antara lain:
  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya Penanganan Fakir Miskin Melalui Pendekatan Wilayah;
  5. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan;
  6. Peraturan Menteri Sosial Nomor 86/HUK/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial;
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan tentang Pedoman Tipologi Kelompok Usaha Bersama.

Penanganan fakir miskin berpijak pada beberapa kebijakan yang tertuang, antara lain dalam:
  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Pada Pasal 12 Ayat (1) dinyatakan bahwa pemberdayaan sosial dimaksudkan untuk: a) Memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri; b) Meningkatkan peran serta lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Selanjutnya pada Ayat (2) disebutkan bahwa pemberdayaan sosial dilakukan melalui peningkatan kemauan dan kemampuan, penggalian potensi dan sumber daya, penggalian nilai-nilai dasar, pemberian akses dan pemberian bantuan usaha. Pokok pikiran yang dituangkan dalam undang-undnag ini merupakan referensi  yang memuat aspek-aspek penanganan kemiskinan.
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Pada Pasal 3 dinyatakan bahwa fakir miskin diantaranya mempunyai hak mendapatkan pemberdayaan sosial untuk membangun, mengembangkan serta memberdayakan diri dan keluarga. Di samping itu, untuk meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan, memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha. Pasal ini sangat populis dan mengandung tekad kuat pemerintah untuk mengaktualisasikan potensi fakir miskin. Pasal 7 Ayat (2) huruf b dan Pasal 12. UU 13/2011 pun sangat menghargai kearifan lokal sehingga pendekatan kewilayahan menjadi perhatian dalam penanganan fakir miskin.  Pasal 20 menyatakan bahwa penanganan fakir miskin melalui pendekatan wilayah diselenggarakan dengan memperhatikan kearifan lokal yang meliputi wilayah perdesaan, perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah tertinggal/terpencil dan/atau wilayah perbatasan antar negara. Pendekatan wilayah menjadi perhatian dalam penanggulangan kemiskinan melalui KUBE. Persoalannya apakah hal ini telah menjadi perhatian dalam implemantasinya sehingga ada kekhas-an pendekatan di wilayah yang berbeda tersebut?
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan tentang Pedoman Tipologi Kelompok Usaha Bersama. Isi dari peraturan Dirjen ini menekankan bahwa KUBE merupakan media pendekatan dalam pemberdayaan fakir miskin dan penanggulangan kemiskinan. Pendekatan ini menggunakan 4 dimensi sebagai tolok ukur atau alat pengontrol perkembangan kegiatan yakni dimensi sosial, ekonomi, kelembagaan dan manajemen. Dalam hal ini pun pendamping disoroti sebagai aspek penting yang didalamnya dimuat peran-peran pendamping sebagai fasilitator, penghubung, motivator dan pembimbing yang sekaligus mengarahkan para anggota KUBE. Begitu besarnya peran strategis dari pendamping sehingga perlu dibekali dengan kompetensi yang baik dan tersertifikasi.
     

Berdasarkan hasil studi dokumentasi dan informasi dari berbagai pihak, ada beberapa hal yang memerlukan penjelasan, antara lain:
  1. Dari mulai peluncuran program penanggulangan fakir miskin melalui KUBE sampai saat ini, ada berapa banyak KUBE dan bagaimana perkembangannya.
  2. Jenis usaha apa yang memiliki kecenderungan mampu mewujudkan tingkat kesejahteraan sosial anggota.
  3. Apa ukuran tingkat kemandirian keluarga fakir miskin penerima bantuan UEP KUBE.
  4. Pola usaha yang bagaimana yang paling efektif dalam KUBE, apakah pola satu jenis usaha atau beragam usaha.
  5. Sejauhmana Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS) efektif dalam membangun kepedulian dan kesetiakawanan sosial anggota.
  6. Sejauhmana pemetaan KUBE melalui tipologi yang dirumuskan, baik KUBE yang kurang berhasil, yang berhasil dan yang sangat berhasil.

Berdasarkan hasil telaahan dan beberapa hal yang masih memerlukan penjelasan,  maka kami merumuskan  rekomendasi, sebagai berikut :
  1. Diperlukan adanya temubahas antar Direktorat yang menangani KUBE, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial untuk mengevaluasi perkembangann KUBE dan mengembangkan model pemberdayaan keluarga fakir miskin melalui KUBE yang sesuai kewilayah maupun kearifan lokal.
  2. Diperlukan ketersediaan instrumen yang mampu mengukur tingkat perkembangan KUBE sesuai tipologi yang dirumuskan.
  3. Pendekatan resertifikasi/ reassessment dapat dijadikan rujukan dalam proses memandirikan KUBE.
  4. Diperlukan adanya evaluasi sekaligus uji kompetensi bagi para pendamping KUBE sehingga bagi pendamping KUBE yang berkompetensi baik berhak memperoleh sertifikat (sertifikasi kompetensi teknis pendampingan).
  5. Diperlukan perhatian dan dukungan politik untuk mengaktualisasikan eksistensi dan potensi para Pekerja Sosial dalam pendampingan KUBE.

Tidak ada komentar